Fair Trade Vs. Free Trade

15 12 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

    Secara langsung dan tidak langsung efek dari perdagangan internasional sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia yang sesederhana mungkin, sebagai contoh jika kita pergi ke sebuah toko dan perhatikanlah produk-produk di toko tersebut darimana asalnya, mungkin produk-produk tersebut ada yang buatan asli dalam negeri dan banyak pula yang berasal dari luar negeri (barang impor). Hal sekecil tersebut merupakan salah satu contoh dari perdagangan bebas yang mengizinkan produk-produk dari belahan dunia manapun untuk masuk ke negeri kita.

    Melalui instrumen perdagangan bebas (free trade) kita dapat menikmati produk-produk dari mancanegara tanpa harus melancong ke negara itu terlebih dahulu, jelas ini merupakan keuntungan tersendiri yang dapat dirasakan oleh suatu individu. Dan untuk halnya negara perdagangan bebas juga dapat meningkatkan devisa negara dengan melakukan kegiatan expor dan mengurangi impor untuk mencapai surplus perdagangan.

    Namun pada realitasnya sulit untuk melakukan perdagangan bebas yang saling menguntungkan antara suatu negara dengan negara lain yang kerap kali hanya menguntungkan salah satu dari negara itu saja, negara yang diuntungkan biasanya hanya negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi saja, sedangkan negara-negara berkembang selalu dipersulit apabila komoditas expornya memasuki negara-negara tersebut.

    Akibat dari konflik antara negara maju dengan negara berkembang di dalam perdagangan bebas yang kerap kali merugikan negara berkembang, muncullah isu perdagangan adil (fair trade). Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi hak azasi manusia, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.[1]

    Tertarik dengan latar belakang tersebut, maka tim penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam makalah dengan judul “PERDAGANGAN INTERNASIONAL : FAIR TRADE VERSUS FREE TRADE”.

    B. Identifikasi Masalah

      Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka penulis mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang menjadi topik pembahasan  dalam penulisan ekonomi politik internasional, yaitu :

      1. Apa yang dimaksud dan konsep dari perdagangan bebas (free trade)?
      2. Apa yang dimaksud dan konsep dari perdagangan adil (fair trade)?
      3. Bagaimana korelasi antara perdagangan bebas (free trade) dengan perdagangan adil (fair trade) di dalam perdagangan internasional?

      C. Pokok Masalah

        Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

        Perdagangan internasional bisa sangat menguntungkan lewat instrumennya yaitu perdagangan bebas. Hal ini memungkinkannya dimasuki suatu pasar dari suatu negara. Sejak dari berakhirnya perang dunia ke-2 sudah terciptanya pengurangan tarif secara global dari 40% sampai 5%. Menurut data dari World Bank suatu negara yang terlibat dari perdagangan bebas pertumbuhan ekonominya akan melibihi 5% per tahun, sementara bagi negara-negara miskin yang mengikuti perdagangan bebas pertumbuhan ekonominya hanya mencapai 1%. Disamping data-data tersebut, hal jelasnya adalah jutaan orang di dunia masih hidup dibawah garis kemiskinan akibat dari perjanjian dagangan yang tidak adil ini.[2]

        Seiring dengan banyaknya perdebatan mengenai free trade terutama antara negara maju sebagai pihak yang di anggap merugikan negara berkembang dengan penekanan di bidang perekonomian yang menyengsarakan. Maka dari perdebatan itu lahirnya suatu jalan agar kedua pihak merasakan keadilan dari suatu perdagangan internasional melalui fair trade.

        BAB II

        TINJAUAN TEORITIS

        Definisi Perdagangan Internasional

        Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.[3]

        Menurut Amir, M.S. seorang pengamat ekonomi, bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan Internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan internasional, misalnya dengan adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum perdagangan.[4]

        Definisi Fair Trade (Perdagangan Adil)

        Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.[5]

        Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.[6]

        Definisi Free Trade (Perdagangan Bebas)

        Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.[7]

        BAB III

        PEMBAHASAN

        PERDAGANGAN INTERNASIONAL : FAIR TRADE VERSUS FREE TRADE

        A. Free Trade (Perdagangan bebas)

          1. Pengertian

          Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. Penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

          Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

          Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

          2. Sejarah

            Sejarah dari perdagangan bebas internasional adalah sejarah perdagangan internasional memfokuskan dalam pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa bermacam kebudayaan yang makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam perdagangan. Berdasarkan hal ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari perdagangan bebas akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu. Teori ini berkembang dalam rasa moderennya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan bebas, dan keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme telah berkembang di Eropa di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme adalah David Ricardo dan Adam Smith.

            Pada periode yang sama, pasar produk organik juga mengalami pertumbuhan yang stabil. Perdagangan barang-barang organik dengan label fair trade sering disebut sebagai fair and green trade.

            Ekonom yang menganjurkan perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan kenapa beberapa kebudayaan secara ekonomis makmur. Adam Smith, contohnya, menunjukkan kepada peningkatan perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak hanya di Mediterania seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok. Kemakmuran besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan mendeklarasikan perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi untuk beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah berjibaku dengan merkantilisme, proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya sepanjang abad.

            B. Fair Trade (Perdagangan Adil)

              1. Pengertian

              Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.

              Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi HAM, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.

              2. Sejarah

                Bibit-bibit gerakan fair trade lahir di dunia barat akhir tahun ’40-an. Gerakan dilandasi semangat solidaritas dunia barat terhadap negara dunia ketiga. Perintisnya adalah kelompok keagamaan dan LSM.

                Menurut sejarahnya, fair trade adalah sebuah gerakan sosial yang muncul akibat adanya ketidakadilan antara produsen dan konsumen. Seringkali terjadi, konsumen merasa bahwa produsen harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap suatu produk dari yang seharusnya. Sementara itu, hal yang sama pun juga dirasakan oleh produsen, terutama produsen yang skala usahanya masih kecil. Di sinilah kemudian muncul konsep fair trade yang berusaha untuk mengupayakan sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada dialog, transparansi dan respek dari kedua belah pihak. Seiring dengan berjalannya putaran waktu, konsep fair trade ini pun semakin berkembang pula (merujuk pada definisi dan prinsip-prinsip yang ada dari The International Fair Trade Association – IFAT ).

                Ten Thousand Villages dan SERRV International adalah dua LSM yang memulai pengembangan rantai perdagangan fair trade di negara berkembang. Produknya—anyaman dan rajutan—dijual di gereja atau bazar di Amerika. Saat itu, gerakan ini dipandang sebagai donasi dunia barat bagi penduduk miskin negara berkembang.

                Inisiatif ini terus berkembang, bahkan konsep dasarnya mengalami pergeseran. Tak hanya sebagai donasi, ketika sebagian kecil masyarakat dunia barat menilai telah terjadi eksploitasi harga dalam perdagangan antara negara mereka dan negara dunia ketiga, mereka ingin memperbaikinya dengan memberi harga lebih adil. Sekitar tahun ’70-an, sejumlah petani kopi skala kecil di Meksiko yang sangat bergantung pada pihak lain (pengumpul, pedagang, dan pengolah) dalam rantai perdagangan kopi mengembangkan label/sertifikasi fair trade untuk kopi mereka. Nama yang diberikan adalah Max Havelaar. Dalam percobaan awal ini, dibuka hubungan langsung antara pengolah kopi dan pengecer di Belanda dengan koperasi petani kopi di Meksiko. Kini selain sebagai sebuah gerakan, fair trade populer sebagai label/sertifikat yang disematkan pada produk yang dijual. Ini menjadi semacam jaminan dan transparansi lebih bagi konsumen bahwa produsen skala kecil mendapatkan harga yang adil. Dari sisi produsen, sertifikasi memperbesar akses mereka terhadap pasar ekspor.

                Sejak pertengahan ‘80-an, gerakan fair trade telah berkembang secara signifikan di dunia barat yang menjadi pasar utamanya. Tahun 2005, penjualan produk fair trade di tingkat global mencapai 1,1 milyar euro. Ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 30 persen lebih selama tahun 2004. Saat ini, produk-produk berlabel fair trade tak hanya dijual di toko khusus tetapi mulai juga dipajang di rak supermarket. Jenis produknya pun makin beragam. Meski permintaan untuk produk-produk berlabel fair trade lebih banyak tumbuh di dunia barat, saat ini kita bisa melihat bahwa pada pasar lokal di seluruh dunia sudah mulai ada upaya menciptakan perdagangan yang lebih adil bagi produsen.

                Pada periode yang sama, pasar produk organik juga mengalami pertumbuhan yang stabil. Perdagangan barang-barang organik dengan label fair trade sering disebut sebagai fair and green trade.

                3. Prinsip-Prinsip Fair Trade

                  Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi & pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.

                  Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (misal: pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, dsb) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.

                  Diperlukan sebuah kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan respek yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) di dalam perdagangan internasional. Fair trade memberikan sumbangan bagi pembangunan yang berkelanjutan dengan menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik dan melindungi hak dari produser dan buruh yang terpinggirkan, terutama di Selatan.

                  Sebagai gerakan, fair trade terwujud dalam bentuk organisasi International Federation of Alternative Trade (IFAT). Organisasi payung gerakan fair trade sedunia ini bermain di advokasi kebijakan internasional. Pada pertemuan tahunan World Trade Organisation (WTO), IFAT selalu muncul. Sejak di Cancun, Mexico hingga di Hongkong tahun lalu mereka hadir sebagai suara alternatif untuk mewujudkan perdagangan yang lebih adil.

                  Dalam halaman situs International Fair Trade Association, Asosiasi Internasional Perdagangan yang Adil menyebut sembilan syarat agar sebuah perdagangan dapat disebut adil.

                  1.   Membuka peluang bagi produsen dari kalangan ekonomi lemah

                  2.   Transparan dan dapat dipertanggungjawabkan

                  3.   Meningkatkan keahlian produsen

                  4.   Mendorong terbentuknya perdagangan yang adil dan merata

                  5.   Pembayaran dengan harga yang pantas melalui dialog dan prinsip partisipasi           sesuai  dengan perkembangan pasar

                  6.   Menghormati kesetaraan gender

                  7.   Membentuk situasi dan kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi            pekerja dan masyarakat

                  8.   Tidak melibatkan pekerja anak

                  9.   Tidak merusak lingkungan hidup dan memberikan dampak bagi pembangunan       lokal, secara berkala mengurangi tingkat ketergantungan impor dan          membudidayakan produk lokal.

                  C. Fair Trade Vs Free Trade

                    Fair Trade muncul sebagai alternatif dari bentuk perdagangan bebas (free trade) yang menurut banyak orang sangat tidak adil. Kenyataan bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga bumi sementara kemiskinan akut yang massif diderita oleh sebagian besar warga lainnya adalah bukti akibat ketidakadilan free trade yang paling nyata. Bila ditelusuri akar permasalahannya terletak pada aturan-aturan free trade yang pada praktiknya sangat tidak adil. Aturan-aturan doubel standard atau standar ganda yang dipraktekkan negara-negara kaya dalam hubungan perdagangannya dengan negara-negara berkembang telah merubah hubungan perdagangan tersebut yang secara filosofis adalah hubungan partnership yang menguntungkan kedua belah pihak menjadi hubungan eksploitatif. Dengan kata lain hubungan perdagangan antara negara kaya dengan negara berkembang hanya menjadi sarana pelegalan eksploitasi baru setelah cara-cara kolonialisasi tidak lagi dipandang cukup beradab. Standar ganda free trade memaksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka, sedangkan pada sisi yang lain negara-negara maju masih menerapkan kebijakan proteksi bagi produk yang akan masuk ke dalam pasar domestik. Konsekuensi penerapan standar ganda tersebut seperti dicatat oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dolar US. Selain itu ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin besar dimana saat ini hanya 20% populasi dunia menikmati income yang jumlahnya 60 kali lebih besar dari income orang-orang miskin.[8]

                    Di tengah kondisi perdagangan yang semakin lama semakin tidak adil tersebut dan telah menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara berkembang, Fair Trade muncul sebagai sebuah gerakan perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender. Dalam prakteknya, prinsip dan nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk rantai distribusi yang lebih pendek, penguatan organisasi produsen, peningkatan keterlibatan dan peranan perempuan dalam perdagangan, harga premium bagi produk yang dihasilkan.[9]

                    Sejak menjadi sebuah gerakan pada tahun 1950 fair trade telah menyebar ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri gerakan fair trade muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Dalam perkembangannya fair trade di Indonesia telah cukup membantu produsen-produsen miskin di berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Malang, Mataram, Bali, Surakarta. Perkembangan fair trade yang cukup positif tersebut menunjukkan bangkitnya kepedulian lebih banyak masyarakat terhadap orang-orang di sekeliling mereka yang selama ini bekerja keras menyediakan keperluan mereka namun tidak mendapatkan hak sesuai proporsi yang seharusnya mereka terima.[10]

                    Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (misal : pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, dan sebagainya) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.[11]

                    Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil.[12]

                    Diperlukan sebuah kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan respek yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) di dalam perdagangan internasional. Fair trade memberikan sumbangan bagi pembangunan yang berkelanjutan dengan menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik dan melindungi hak dari produser dan buruh yang terpinggirkan, terutama di Selatan.[13]

                    Pada banyak kajian litelatur lebih banyak membicarakan tentang free trade ketimbang fair trade. Kedua istilah tersebut memiliki persamaan yaitu menyangkut aktivitas jual-beli atau trading. Perbedaannya adalah dari segi etika dan cara kerjanya atau Mode of Production. Free trade atau pasar bebas itu melulu memburu laba atau profit, bila perlu menghalalkan segala cara, tidak peduli dengan hal-hal yang berbau kesejahteraan orang banyak. Free trade dalam praktek menjelma dalam bentuk korporasi-korporasi raksasa atau investor dari negara-negara kaya/maju. Kehadirannya kerap mengatas namakan pembangunan sehingga mendapat restu dari pemerintah, maupun tokoh-tokoh masyarakat. Demi profit, negara pun tak segan-segan dijungkir balikan. Dampak free trade bisa dilihat di beberapa daerah yang kaya dengan sumber daya alam, seperti Papua, Aceh, Bali, dan masih banyak daerah lainnya di tanah air. Terjadinya perusakan lingkungan dan pemiskinan rakyat/penduduk lokal. Bahkan akibat yang lebih ekstrim lagi yaitu munculnya gerakan separatis memisahkan diri dari NKRI, sebagai ungkapan kekecewaan rakyat atas sumber daya alamnya dibabat habis oleh korporasi yang bergandeng mesra dengan pemerintah.[14]

                    Dari sudur beroperasinya, kepentingan para korporasi tertuang jelas dalam kebijakan yang dikeluarkan melalui organisasi supra negara seperti : IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), dan WB (World Bank). Jika negara ikut meratifikasi itu berarti wajib hukumnya untuk mengikuti aturan main yang telah ditetapkan. Tak jarang para korporasi juga mempunyai saham dalam membidani kelahiran seorang untuk menjadi pemimpin nasional di suatu negara. Karenanya jika terjadi konflik atau penolakan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, pemerintah nasional menjadi tidak berkutik, karena sudah menjadi perpanjangan tangan sang korporasi. Rakyat didepak, kemudian terhembas dan yang lebih terhempas lagi adalah kaum perempuannya.[15]

                    Dari segi produk yang diperjualbelikan, rejim free trade tidak tanggung-tanggung untuk menjadikan sesuatu dijadikan komoditi dan masyarakat hanya dilihat sebagai konsumen. Konsekuensinya semua sektor publik dikendalikan oleh kekuatan korporasi. Di bali bisa dilihat jelas praktek free trade dalam kaitan industri pariwisata seperti biro perjalanan, transportasi, pengunjung, pemandu wisata orang luar negeri, hotel, restoran (dari bahan mentahan, peralatan, serta chef-nya), semua orang luar negeri.[16]

                    Menyikapi keberadaan rejim pasar bebas, sejumlah kalangan telah mengambil inisiatif dengan membuat wacana alternatif yang dikenal dengan fair trade (perdagangan yang adil). Fair trade menjadi sikap yang dalam praktek bisnis atau profitnya sangat mempertimbangkan nilai-nilai etik kemasyarakatan. Berikut definisi fair trade yang dikutip dari website IFAT : fair trade adalah model perdagangan yang berdasarkan pada dialog, ketebukaan dan saling menghormati, yang bertujuan untuk menciptakan keadilan , pembangunan kesinambungan melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak hak-hak kelompok produsen dan pekerja yang terpinggirkan terutama di negara-negara Selatan yang diakibatkan oleh praktek dan kebijakan perdagangan internasional.[17]

                    Dari pengertian di atas, terdapat dua hal yang bisa dilihat, yakni : free trade sebagai gerakan dan fair trade sebagai model/kegiatan bisnis. Fair trade sebagai gerakan lebih banyak menyangkut soal keorganisasian. Fair trade adalah gerakan internasional yang berada di bawah organisasi payung yang dulu disebut IFAT (International Fair Trade Association), yang segara berganti nama menjadi : World Fair Trade Organization (WFTO). WFTO bertugas merumuskan aturan main dan kriteria yang harus dipenuhi anggota maupun orang atau organisasi yang ingin bergabung dalam gerakan fair trade. Kegiatan organisasi lebih banyak difokuskan pada kegiatan advokasi kebijakan, terutama kebiajakn perdagangan Internasional/World Trade Organization (WTO), advokasi konsumen melalui kampanye dan pembukaan akses pasar untuk anggota dan memonitoring kegiatan anggota dalam peenrapan prinsip-prinsip fair trade. WFTO anggotanya terdari 300 organisasi di sekitar 80 negara.[18]

                    Fair trade sebagai model bisnis, menyangkut persoalan anggota mewujudkan nyatakan prinsip-prinsip fair trade seperti yang dilontarkan oleh IFAT, beberapa butir dari prinsip itu yang penting untuk dijadikan pedoman dalam praktek fair trade, antara lain : dalam kegiatan bisnis harus ada unsur aktif memerangi kemiskinan, pembayaran layak dan lencar, tidak memperkejakan tenaga kerja anak, menghormati lingkungan, kesetaraan perempuan atau gender, hubungan bisnis yang berkesinambungan dan ada unsur partnership saling membesarkan. Jadi yang menjadi perhatian para pelaku fair trade adalah dalma kegiatan bisnis atau usaha, lebih mengacu pada norma-norma kemanusiaan. Dalam memproduksi barang, sangat diupayakan menghindari terjadinya eksploitasi baik terhadap sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Profit yang diperoleh bukan melulu untuk memenuhi hasrat atau memiliki melainkan di investasikan lagi ke dalam program yang mensejahterakan produsen dan masyarakat. Para fair trade dalam melakoni bisnis sangat menekankan aspek kreatifitas, keindahan produk untuk konsumen, dan kebajikan dalam berproduksi. Yang jelas, gerakan fair trade tidak terbetas pada sektor kerajinan saja. Fair trade sebagai model bisnis bisa diterapkan di segala bidang usaha dimana saja dan kapan saja. Fair trade tidak hanya profit namun juga happiness and welfare oriented.[19]

                    BAB IV

                    KESIMPULAN


                    Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.

                    Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi dan pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.

                    Dalam fair trade, produsen dan konsumen memiliki posisi yang sejajar. Selain itu, kedua belah pihak juga mengedepankan asas transparansi. Hal ini dilakukan melalui informasi dan komunikasi. Sebagai contoh adalah dalam menentukan harga jual. Produsen menghitung seluruh komponen biaya produksi, termasuk aspek konservasi, edukasi dan sosial. Faktor-faktor pembentuk harga jual tersebut kemudian diinformasikan secara terbuka kepada konsumen, begitu juga mengenai proses produksinya. Dan jika komunikasi ini dilakukan dengan benar, maka konsumen pun akan bersedia membayar harga jual yang ditawarkan sebagai salah satu apresiasi mereka.

                    Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.

                    Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional.

                    DAFTAR PUSTAKA

                    http://whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html

                    http://gbgm-umc.org/global_news/full_article.cfm?articleid=2081

                    http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-dampak-globalisasi-terhadap.html

                    http://gadisayu18.wordpress.com/2009/03/30/apakah-memang-ada-perdagangan-bebas/

                    http://www.organicindonesia.org/files/edition_96b7eff1993fbd68dc73ff4f29f768b7126c84d0.pdf


                    [1] “Konsep Hukum Fair Trade”, http://whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html, diakses tanggal 29 Mei 2009.

                    [2] “Fair Trade Versus Free Trade-UMW Action Alert”, http://gbgm-umc.org/global_news/full_article.cfm?articleid=2081, diakses tanggal 29 Mei 2009.

                    [3] “Makalah Dampak Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-dampak-globalisasi-terhadap.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.

                    [4] “Makalah Dampak Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, Ibid.

                    [5] “Apakah Memang Ada Perdagangan Bebas?”, http://gadisayu18.wordpress.com/2009/03/30/apakah-memang-ada-perdagangan-bebas/, diakses tanggal 7 Juni 2009.

                    [6] “Apakah Memang Ada Perdagangan Bebas?”, Ibid.

                    [7] “Hambatan dan Tantangan Fair Trade di Negara Berkembang”, http://www.scribd.com/doc/13921571/Politik-Bisnis-Internasional, diakses 29 Mei 2009.

                    [8] “Perkembangan Fair Trade di Indonesia”, Ibid.

                    [9]“Perkembangan Fair Trade di Indonesia”, Ibid.

                    [10] “Perkembangan Fair Trade di Indonesia”, Ibid.

                    [11] “Hambatan dan Tantangan Fair Trade di Negara Berkembang”, Ibid.

                    [12] “Hambatan dan Tantangan Fair Trade di Negara Berkembang”, Ibid.

                    [13] “Hambatan dan Tantangan Fair Trade di Negara Berkembang”, Ibid.

                    [14] “Fair Trade dan Free Trade”, http://www.organicindonesia.org/files/edition_96b7eff1993fbd68dc73ff4f29f768b7126c84d0.pdf, diakses tanggal 29 Mei 2009.

                    [15] “Fair Trade dan Free Trade”, Ibid.

                    [16] “Fair Trade dan Free Trade”, Ibid.

                    [17] “Fair Trade dan Free Trade”, Ibid.

                    [18] “Fair Trade dan Free Trade”, Ibid.

                    [19] “Fair Trade dan Free Trade”, Ibid.