Peranan Uni Afrika dalam Mengelola Konflik Darfur di Sudan 2005-2007

5 04 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semenjak memperoleh kemerdekaan di tahun 1956, Sudan telah mengalami berbagai peperangan di negerinya. Perang saudara yang terjadi dari tahun 1955 sampai tahun 1972 dan pada tahun 1983 sampai 2005. Perang-perang ini secara umum dijelaskan sebagai suatu bentuk perjuangan atas sumber daya alam dan kekuasaan terhadap otoritas Khartoum yang dikemudian terlahirlah John Garang’s Sudan People’s Liberation Army (SPLA). Pada awalnya perang ini dikarenakan oleh orang-orang di Selatang yang tertarik untuk meningkatkan pengaruh politik mereka di negeri Sudan, namun seiringin dengan semakin menurunnya konflik, keinginan mereka bergeser dari yang semula ingin menamcapkan pengaruh politik di Khartoum menjadi tuntutan untuk memperoleh self-determination yang memungkinnya terjadinya kemerdekaan. Segera setelah hidupnya kembali konflik disana pada tahun 1983, beberapa kelompok yang terdiri dari negara-negara Afrika mencoba untuk membicarakan perdamaian, namun hal ini selalu gagal. Pembicaraan mengenai proses perdamaian pun berlanjut seiringan dengan berkecamuknya perang disana yang akhirnya menciptakan “literature of accord”, perjanjian ini memberikan solusi bersama terhadap konflik yang akan diterima oleh berbagai pihak. Pada bulan Mei 2004, The Comprehensive Peace Agreement (PCA) ditandatangani yang menyediakan pembagian kekuasaan bersama antara pihak Utara dan Selatan dan penentuan nasib sendiri lewat referendum bagi Selatan. Disini Utara didefinisikan sebagai otoritas Khartoum atau pemerintah negara Sudan dan Selatan sebagai pihak pemberontak yang berada di daerah Darfur.

Seiring dengan berjalannya perjanjian tersebut pun tidak memberikan perdamaian di Sudan karena konflik Darfur telah semakin memuncak yang dimana konflik ini telah terjadi selama beberapa dekade.

Darfur adalah sebuah provinsi di barat Sudan di mana tiga kelompok etnis mendominasi daerah dan mayoritas orang muslim. Sebagian besar penduduknya hitam petani sementara Arab yang nomaden. Menurut banyak sarjana dan ahli Sudan, situasi di Darfur telah banyak disalahpahami dan disederhanakan sebagai konflik antara Muslim Arab dan Afrika hitam. Disini memerlukan perjelasan karena populasi di Darfur terdari dari beberapa suku yang semuanya bekerja sebagai petani dan pengembala unta serta sapi. Mayoritas suku yang bekerja sebagai petani adalah suku Fur dan Masalit, dan mayoritas suku yang bekerja sebagai pengembala adalah suku Zaghawa, Baqqaram dan Abbala. Iklim yang ekstrim di  Darfur menciptakan suku-suku ini harus belajar untuk berbagi air dan tanah untuk perternakan dan pertanian mereka. Pada awal tahun 1980-an, terjadinya kekeringan parah yang menyebabkan ketidakseimbangan ini terjadi di Darfur. Di tahun yang sama pula, Libya mulai menggunakan Darfur sebagai medan bagi perang melawan Chad, yang membawa ideologi supremasi Arab ke Darfur. Keterlibatan Libya juga mengakibatkan arus masuk senjata kecil ke Darfur. Ini adalah unsur utama letusan kekerasan di Darfur. Pada pertengahan 1987, perang pecah antara Fur dan nomadenArab, yang dimana pada saat itu  Tentara Sudan memberikan nomaden Arab persenjataan dan kuda layaknya “para ksatria” yang disebut dengan Janjaweed, mulai menyerang petani desa. Ini juga pertama kalinya kata Janjaweed ini digunakan untuk menggambarkan milisi Arab. Dengan diabaikannya situasi ini oleh pemerintah pusat, perang terus berlanjut sampai Mei 1989.

Faktor lain yang memicu hal ini adalah latar belakang sejarah pada masa kolonial Inggris yang dimana otoritas penjajah memberikan suku-suku asli setempat kekuasaan untuk menjalankan kontrol di wilayahnya sesuai dengan suku masing-masing. Memasuki era kemerdekaan hal ini berubah yang dimana kontrol atas wilayah dipegang sepenuhnya oleh otoritas pusat.

Semenjak Sudan memperoleh kemerdekaannya, Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Sejumlah kaum terpelajar Darfur membentuk suatu pergerakan politik di tahun 1960-an untuk memperjuangkan Darfur sejajar dengan yang lain, terkait dengan hal ini, pada akhir tahun 1980-an suku-suku petani disana seperti Fur dan Masalah menghadapi konflik tidak hanya dengan suku Arab namun juga dengan pemerintah pusat. Sebagai akibatnya, suku-suku Afrika (Fur, Masalit, dan Zaghawa) ini membentuk kelompok perlawanan yang bersenjata di akhir tahun 1990-an dan di tahun 2001 mereka melancarkan serangan sporadis terhadap gedung-gedung kepolisian dan markas tentara. Pada tahun 2002, ketiga suku ini memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan yaitu Pasukan Pembebasan Sudan atau Sudanese Liberation Army (SLA) atau Jaisy Tahrir al-Sudan dan Gerakan Keadilan Persamaan atau  The Justice and Equality Movement (JEM) atau Jaisy Tahrir al-Sudan. Dan pada tanggal 25 April 2003, serangan terhadap Bandar Udara El Fasher dinilai sebagai titik dimulainya dari perang saudara di Darfur ini.

Pemerintah Sudan telah memberikan dukungan terhadap Janjaweed sejak dari sebelum-sebelumnya, peningkatan serangan oleh pemberontak terhadap instalasi pemerintah membuat langkah Khartoum atas dukungannya, dengan dikuasasi situasi di Sudan Selatan dan di berbagai daerah lainnya, hal ini menyebabkan spekulasi bahwa pemerintah telah memasukan Janjaweed menjadi penumpas pemberontakan karena kurangnya tentara yang dimiliki pemerintah Sudan. Janjaweed menerima persenjataan, alat komunikasi, artileri, dan penasihat militer dari pemerintah Sudan, sehingga menimbulkan kesulitan dalam membedakan antara Janjaweed dengan pasukan penumpas pemberontak dari pemerintah.

Semenjak Oktober 2003 sampai sekarang, Janjaweed merubah fokus kampanyenya memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan menyerang dan menggusur warga sipil yang dimana dilakukan didaerah yang merupakan pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari pesawat militer dan diikuti dengan menghujani peluru lewat helicopter, kemudian Janjaweed memasuki desa-desa dengan berjalan kaki, menunggangi kuda atau unta, dan mobil, untuk menjarah, memperkosa, dan membunuh. Kerap kali desa-desa tersebut dibakar untuk mencegah para penduduk kembali lagi.

Terhitung sejak tahun 2005, hampir 2 juta penduduk telah mengungsi dan 200.000 penduduk melarikan diri ke Chad.[1]

Dengan meluaskan konflik ini serta banyaknya tekanan dari dunia internasional, banyak pihak-pihak yang mencoba untuk melakukan intervensi kemanusiaan akan konflik darfur ini. Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa perlu untuk melakukan intervensi karena bukan hanya Sudan bagian dari Uni Afrika namun juga karena dianggapnya masalah ini bisa mengarah pada hal yang lebih rumit lagi.

The African Union Mission in Sudan (AMIS) adalah pasukan penjaga perdamaian milik Uni Afrika yang beroperasi di daerah darfur dengan tujuan untuk melakukan penjagaan perdamaian terkait dengan konflik yang terjadi di darfur ini. Badan ini dibentuk pada tahun 2004 dengan pasukan sebanyak 150 tentara, dan pada pertengahan tahun 2005 jumlahnya meningkat menjadi 7000 tentara. AMIS terbentuk atas Resolusi PBB No. 1564 yang bekerjasama dengan badan misi PBB di Sudan yaitu United Nations Mission in Sudan (UNMIS).

Tertarik dengan latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam penulisan hubungan internasional dengan judul “PERANAN UNI AFRIKA DALAM MENGELOLA KONFLIK DARFUR DI SUDAN 2006-2009”.

B. Pokok Permasalahan

Semakin meningkatnya konflik di Darfur dan banyaknya pemberitaan akan masalah ini yang berujung pada internasionalisasi masalah serta banyaknya tekanan dari dunia internasional yang menyatakan bahwa masalah ini harus segera diselesaikan karena menyangkut pelanggaran hak asasi manusia seperti pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, dan bahkan dianggap sebagai suatu bentuk genosida. Sehingga lewat dari mandat PBB terhadap masalah Darfur yang memerintahkan Uni Afrika untuk melakukan misi perdamaian dan penyelesaian konflik atas masalah ini.

Dari uraian tersebut diatas, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian dalam karya ilmiah ini, adalah bagaimana peranan Uni Afrika dalam mengelola konflik Darfur di Sudan antara tahun 2005 – 2007.

C. Tinjuan dan Manfaat Penulisan

Dengan menelaah judul penulisan hubungan internasional di atas, dapatlah diketahui apa yang menjadi maksud dan tujuan penulisan ini.

Maksud dari penulisan ini, yaitu :

  1. Untuk mengetahui asal mula terjadinya konflik di Darfur;
  2. Untuk mengetahui peranan Uni Afrika dalam mengelola konflik di Darfur antara tahun 2005 – 2007;
  3. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Afrika dalam pengelolaan konflik tersebut.

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun suatu karya ilmiah dibutuhkan data-data yang sifatnya menunjang dan melengkapi pembahasan yang merupakan suatu upaya untuk menjawab apa, siapa, dimana, dan kapan. Jadi kita dikatakan merupakan upaya melaporkan apa yang terjadi.[2]

Metode yang digunakan dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasar perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia.

  1. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam memecahkan suatu masalah yang akan diteliti, diperlukan adanya data-data yang menunjang. Tehnik yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah kegiatan membaca, membandingkan serta menganalisis buku-buku ilmiah, artikel dalam majalah, dan kliping koran.

2. Tehnik Pengolahan Data

Data-data yang kemudian diolah. Pertama-tama dilakukan penyeleksian terhadap data dilakukan berdasarkan pada dasar-dasar kebenaran dan bobot data tersebut. Kemudian data-data tersebut dikualifikasikan berdasarkan masalah yang akan dibahas.

3.  Tehnik Analisa Data

Tehnik yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari data-data yang dipakai adalah tehnik deduktif, yaitu menganalisa hal-hal yang bersifat umum menjadi khusus. Analisa ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal yang ada, sehingga hasil penelitian data-data yang diperoleh tersebut dapat memberikan dukungan terhadap teori yang digunakan. Tehnik analisa ini dapat juga disebut sebagai tehnik deskriptif analitis.[3]

E. Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan sebuah karya tulis, baik yang bersifat ilmiah dan non ilmiah diperlukan suatu sistematika tertentu agar dapat menguraikan dengan jelas isi dari tulisan tersebut. Adapun sistematika tersebut ini disusun sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pokok permasalahan, ruang lingkup dan pembatasan masalah, kerangka teori, hipotesa, metode penelitian, tehnik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini menggambarkan sejarah dan perkembangan negara Turki, termasuk lahirnya negara republik Turki. Didalam bab ini terdapat beberapa sub-bab yaitu mula Turki, kerajaan Utsmani di akhir abad 18, hancurnya kekaisaran Ottoman, munculnya negara dengan sistem satu partai, transisi menuju demokrasi, peranan Turki pada masa perang dingin.

BAB III : Bab ini akan membahas mengenai persyaratan keanggotaan Uni Eropa, yang meliputi dasar terbentuknya Uni Eropa, masyarakat ekonomi Eropa, pasar tunggal Eropa, mata uang Eropa, integrasi Eropa, persyaratan keanggotaan Uni Eropa berdasarkan konstitusi dan Kriteria Kopenhagen, peluasan Uni Eropa.

BAB IV : Bab ini akan membahas upaya-upaya dan hambatan-hambatan yang dihadapi Turki untuk memasuki dan diakui sebagai salah satu negara Eropa, yang meliputi hubungan Turki dengan Uni Eropa pada masa perang dingin, kepentingan Turki masuk Uni Eropa, upaya Turki masuk Uni Eropa, hambatan-hambatan Turki masuk Uni Eropa.

BAB V :   Merupakan bab penutup, dimana penulis berusaha untuk menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada sebuah karya tulis ilmiah, fungsi dari teori adalah sebagai jawaban atas persamalahan-permasalahan yang telah diajukan. Kerangka teori disini bertujuan sebagai landasan-landasan pemikiran dari teori yang akan dipergunakan bagi persoalan-persoalan yang muncul dalam penulisan karya ilmiah ini.

Kerangka teori yang digunakan untuk menguraikan permasalahan didalam skripsi ini antara lain teori konflik, teori penyelesaian konflik, dan teori regionalisme. Diharapkan ketiga teori ini mampu memberikan paparan sistematis dan menjawab konteks masalah yang diuraikan dalam karya ilmiah.

Teori yang pertama adalah teori Peter Wallenstein yang mendefinisikan konflik sebagai situasi sosial dimana terdapat minimal dua aktor.[4]

Dalam konteks internasional secara umum konflik dikategorikan dalam konflik antar negara (inter-state conflict) dan konflik intra negara (intra-state). Michael E. Brown mendefinisikan konflik integral sebagai sengketa politik dengan kekerasan yang berpotensi menimbulkan kekerasan yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam negara daripada faktor eksternal yang terjadi didalam batas-batas satu negara.[5]

Ada beberapa tipe dari konflik internal yang antara lainnya adalah perjuangan dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh penduduk sipil atau pemimpin militer yang memperjuangkan edaulatan negara dan ideologi mereka yang diyakininya, ada juga konflik etnis yang menimbulkan kekerasan. Kebanyakan konflik internal data diselesaikan melalui pembangunan mekanisme politik, ekonomi, dan social. Adapun, konflik internal yang diselesaikan dengan cara-cara kekuatan dan kekerasan dapat berupa perlawanan terhadap gerilya yang berdampak pada perang sipil ataupun genosida. Pada umumnya konflik internal aktor utamanya adalah pemerintah dan kelompok pemberontak.

Dalam menjelaskan konflik Darfur yang terjadi di wilayah Sudan paling Barat ini merupakan contoh dari konflik internal. Konflik ini lebih disebabkan oleh adanya faktor-faktor dalam negara seperti tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat akibat kelangkaan untuk mendapatkan sumber alam yang menyebabkan konflik dalam skala dan intensitas kecil terjadi antara etnis Arab dan etnis Afrika antar tahun 1970-an hingga 1990-an di Darfur. Namun, pada awal Februari 2003 kelompok pemberontak yang menamakan diri mereka SLM dan JEM melakukan penyerangan terhadap pusat pemerintahan dan militer yang ada di Darfur untuk menuntut pembagian nilai yang tidak merata kepada pemerintah Sudan atas praktek marjinalisasi ekonomi dan politik yang dialami oleh rakyat Darfur. Hal ini menyebabkan lumpuhnya pemerintahan yang ada di Darfur, sehingga pemerintah menempatkan militer untuk melawan kaum pemberontak yang kemudian menyebabkan banyaknya korban sipil yang tewas. Hal ini terjadi karena adanya kelompok militan yang disinyalir pro-pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Janjaweed melakukan kekerasan disertai dengan aksi terror dengan membakar desa-desa, memperkosa wanita, dan membunuh banyak rakyat Darfur yang membuat konflik Darfur semakin kompleks dan tidak terkendali.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1970-an hingga 1990-an di Darfur dapat dikategorikan konflik horizontal antara kelompok etnis di Darfur, maka konflik yang bereskalasi kekerasan sejak tahun 2003 tersebut merupakan konflik vertikal yang menghadapkan kelompok pemberontakan dengan pemerintah Sudan dan Janjaweed. Adapun faktor perebutan sumber daya alam serta diskriminasi ekonomi di wilayah Darfur merupakan faktor ekonomi yang menimbulkan konflik. Selain itu, konflik antar etnik yang disertai militerisasi oleh pemerintah merefleksikan adanya hubungan sejarah etnik yang bermasalah dan keamanan internal serta klaim pemberontakan mengenai pembagian kekuasaan yang tidak berimbang menandakan adanya sistem politik yang tidak aspiratif.

Dalam membicarakan konflik Darfur harus dipahami bahwa upaya perundingan selalu diambil oleh pemerintah Sudan sejak masuknya peranan internasional. Didalam upaya penyelesaian konflik yang dikemukakan oleh Peter Wallenstein dimana terdapat 7 mekanisme untuk menyelesaikan konflik, yaitu :

  1. Pihak-pihak yang bertikai melakukan modifikasi tujuan dan menggeser prioritasnya masing-masing.
  2. Pihak-pihak yang bertikai pada tujuannya masing-masing namun menemukan satu titik dimana tercapainya kompromi terhadap situasi isu.
  3. Taktir Horse Trading, yaitu suatu kondisi dimana satu pihak memperoleh semua tuntutannya terhadap isu sementara pihak yang lain mendapatkannya pada isu yang lain.
  4. Kedua pihak sepakat untuk melakukan kontrol atau penguasaan secara bersama-sama atas wilayah atau sumber daya yang disengketakan. Pembagian kekuasaan (Power Sharing) dan pembagian kekayaan (Wealth Sharing) merupakan contoh dari mekanisme ini.
  5. Menyerahkan kontrol pada pihak lain. Dalam hal ini pihak yang bertikai pada dasarnya meneirma dan setuju untuk menyelesaikan konflik yang ada melalui pihak ketiga sebagai mediator.
  6. Menyerahkan penyelesaian konflik kepada suatu institusi atau mekanisme tertentu yang disepakati kedua pihak yang bertikai.
  7. Membiarkan permasalahan berbeda dalam status quo dengan harapakan akan adanya perubahan situasi atau kepemimpinan.[6]

Pemerintah sudan nampaknya lebih menggunakan bagian kelima dalam upaya menyelesaikan konflik internal yang terjadi diwilayah negaranya dalam hal ini konflik yang terjadi di Darfur. Hal ini dapat dilihat dari upaya secara internal yang memperbolehkan Uni Afrika untuk melakukan misi-misinya di Sudan lewat kebijakan PBB yang tertuang dalam Resolusi No. 1564. Selain menjaga perdamaian disana, Uni Afrika juga terlibat langsung sebagai mediator yang berfungsi sebagai pihak ketiga yang mendamaian aktor-aktor yang terlibat dalam konflik ini.

Menurut pandangan Mohammed Ayoob, aktor eksternal atau pihak asing dapat terlibat dalam penyelesaian suatu konflik internal dan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

  1. Mempunyai niat dan itikad untuk mendamaikan aktor-aktor yang terlibat konflik.
  2. Mempunyai kemampuan militer dan pengaruh politik yang kuat di level regional maupun internasional.
  3. Mempunyai kemampuan menjadi mediator untuk mencegah diintegrasi disuatu negara.[7]

Dengan berkaca terhadap konsep yang dicetuskan oleh Mohammed Ayoob pada bagian kedua, dapat dilihat bahwa Uni Afrika sebagai suatu organisasi regional yang kuat di Afrika memiliki pengaruh yang kuat pula sebagai suatu wadah yang mengorganisir negara-negara anggotanya. Selanjutnya, untuk mengetahui pola hubungan yang terjalin antara kedua aktor, selain menggunakan teori konflik, juga digunakan suatu teori lain yang dinamakan teori regionalisme.

Regionalisme dapat diartikan sebagai negara-negara yang terletak di area geografis yang sama, dimana dapat bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan suatu permasalahan-permasalahan bersama dan mencapai tujuan jauh diatas kapasitas yang dapat dicapai oleh negara. Organisasi regional meliputi organisasi aliansi militer, perjanjian ekonomi, dan organisasi politik. Piagam PBB mendoronong regionalisme sebagai pelengkap dari organisasi global ini.[8]

Regionalisme terdeskripsikan lewat berbagai kriteria seperti secara geografis, militer/politik, ekonomi, dan transnasional. Diluar hal-hal pokok tersebut, regionalisme juga secara kontemporer dapat dimasukan ke dalam kriteria lain, seperi bahasa, agama, kebudayaan, kepadatan penduduk, dan iklim.[9]

Kerjasama regional tersebut sudah barang tentu memerlukan pengaturan secara regional pula. Negara-negara yang biasanya tergabung dalam suatu kerjasama regional dapat bersumber dari beberapa kepentingan dengan pandangan serta perasaan kedaerahan dan identitas yang sama seperti yang dikatakan oleh Michael Leifer dalam tulisannya Regionalism The Global Balance and Southeast Asia bahwa :

“The actual manifestation of regionalist behavior on the part of state may derive from a variety of sources. It may arise from a common sense of place and identity, from the prospect of mutual advantage in corporation and from a perception of common external danger. But, however, a common sense of region represented in institutional from by sovereign state contiguous to one another is, above all a political expressions.” [10]

(Suatu wujud nyata manifestasi dari perilaku regional suatu negara dapat berasal dari berbagai sumber. Dapat timbul dari rasa persamaan identitas dan tempat tinggal, dari prospek keuntungan timbale balik dalam kerjasama dan permasaan persepsi mengenai bahaya eksternal bersama. Namun secara logika merupakan sebuah regional yang diwakili oleh institusi dari sebuah negara yang berdaulat, yang bersifat menular satu dengan yang lainnya, adalah sebuah bentuk dari ekspresi politis)

Selain itu disebutkan pula kondisi-kondisi yang mendorong terjadinya integrasi atau pra kondisi tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk mencapai integrasi, yaitu :

  1. Asimiasi sosial ; misalnya berupa toleransi budaya timbal balik, identitas bersama atas tujuan-tujuan kebijakan luar negeri, dan kedekatan hubungan antar pemerintah dan antar bangsa pada umumnya.
  2. Kesamaan nilai ; terutama diantara kaum elite, seperti kapitalisme, sosialisme, atau pasar bebas.
  3. Keuntungan bersama ; beberapa negara tertentu mengharapkan keuntungan si suatu sektor, sementara negara lain mencari keuntungan di sektor lain.
  4. Kedekatan hubungan di masa lampau ; sejarah tingkat kedekatan hubungan secara damai suatu negara dengan negara lain akan mendorong terjadinya integrasi.
  5. Pentingnya dari integrasi itu sendiri ; manfaat dari kedekatan hubungan yang akan terjadi menumbuhkan dorongan akan integrasi.
  6. Biaya relatif rendah ; karena selalu ada perhitungan untung rugi, maka harus ada jaminan bahwa keuntungan integrasi lebih banyak dari biayanya, baik ekonomi, sosial maupun nasionalistik (kepentingan negara atau pemerintah).
  7. Pengaruh-pengaruh eksternal yang mendorong terjadinya integrasi, misalnya ancaman komunisme, dan berakhirnya perang dingin.[11]

BAB III

GAMBARAN UMUM

Dengan semakin mencuat ke permukaan dan semakin kompleksnya konflik yang terjadi di Darfur maka menimbulkan konflik ini menjadi topik yang selalu diangkat ke dalam forum internasional untuk mencari penyelesaiannya. Dengan hal ini konflik Darfur yang tadinya hanya menjadi konflik internal suatu negara digeser oleh dunia internasional menjadi masalah internasional yang harus mendapatkan intervensi langsung oleh pihak-pihak luar.

Disini pihak-pihak luar yang terkait dan dominan adalah PBB dan Uni Afrika. PBB sebagai suatu organisasi global yang selalu ingin melakukan perdamaian di setiap negara-negara anggotanya, mengeluarkan Resolusi No. 1564 yang menyatakan bahwa PBB telah menunjuk Uni Afrika sebagai mediator dan penjaga perdamaian di Darfur. Dengan ini, Uni Afrika mendapatkan mandat untuk segera menyelesaikan konflik internal ini serta menjaga perdamaian dan menurunkan eskalasi kekerasan yang terjadi disana.

Uni Afrika sendiri adalah sebuah organisasi antar-pemerintah yang bertujuan menyebarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerintahan yang baik (Good Governance), pembangunan di penjuru Afrika, mempercepat integrasi politik dan sosial-ekonomi, memajukan dan mempertahankan posisi Afrika secara bersama dalam masalah-masalah kepentingan terhadap rakyat Afrika, serta perdamaian dan keamanan di Afrika. Uni Afrika merupakan penerus Organisasi Persatuan Afrika atau Organisation of African Unity. Ketua Uni Afrika pertama ialah Presiden Afrika Selatan yang bernama Thabo Mbeki. Uni Afrika bermarkas di Addis Ababa, Ethiopia.

Uni afrika beranggotakan 52 negara dan 1 wilayah yang belum merdeka, yaitu Sahara barat. Maroko menolak menjadi anggota Uni Afrika karena keikutsertaan Sahara Barat, wilayah yang diklaim Maroko. Sedangkan Somaliland tidak diikutsertakan karena kedaulatan negaranya tidak diakui dunia internasional.

Anggota-anggota Uni Afrika: Aljazair, Benin, Botswana, Burkina Faso, Burundi, Chad, Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Guinea Khatulistiwa, Kamerun, Kenya, Komoro, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Lesotho, Liberia, Libya, Madagaskar, Malawi, Mali, Mauritania (keanggotaan dibekukan setelah insiden kudeta militer), Mauritius, Mesir, Mozambik, Namibia, Niger, Nigeria, Pantai Gading, Republik Afrika Tengah, Rwanda, Sahara Barat, Sao Tome dan Principe, Afrika Selatan, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Swaziland, Tanjung Verde, Tanzania, Togo, Tunisia, Uganda, Zambia, dan Uganda.

Salah satu tujuan dari Uni Afrika adalah untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, dan stabilitas kontinen, dan salah satu dari prinsip-prinsipnya adalah resolusi konflik untuk perdamaian diantara negara-negara anggota dilakukan dengan cara yang terbaik dan diputuskan oleh Dewan Majelis.

Intervensi militer untuk perdamaian dilakukan pertama kali paad Mei 2003 dengan menempatkan pasukan penjaga perdamaian dari Afrika Selatan, Ethiopia, dan Mozambik, untuk ditempatkan di Burundi.[12]

BAB IV

ANALISIS

Dengan merespon Resolusi PBB No. 1564, Uni Afrika yang ditunjuk oleh PBB untuk melakukan penyelesaian konflik di Darfur lewat menggunaan pasukan penjagaannya untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah yang telah dilanda konflik tersebut. Uni Afrika segera meresponnya dengan membentuk badan khusus yang dikenal dengan nama The African Mission in Sudan (AMIS). AMIS pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004, dengan jumlah 150 tentara, dan pada pertengahan tahun 2005 jumlahnya ditambah sebesar 7000 tentara. Dibawah Resolusi PBB No. 1564, selain menunjuk Uni Afrika untuk menyelesaikan konflik di Darfur juga disertakan bekerjasama dengan United Nations Mission in Sudan (UNMIS).

AMIS dibentuk setelah adanya pengiriman pemantau terhadap krisis Darfur dari Uni Afrika dan Uni Eropa pasca ditandatanganinya genjatan senjata pada April 2004. Pada Agustus 2004, Uni Afrika mengirim 150 tentara Rwanda untuk menjaga hasil genjatan senjata, dan diputuskan bahwa hanya dengan mengirimkan 150 tentara dirasa tidak cukup dan selanjutnya dikirim tentara dari Nigeria sebanyak 150 tentara juga. Selama April 2005, setelah Pemerintah Sudan melakukan genjatan senjata dengan SLA, yang dimana menghentikan perang saudara disana, AMIS kembali melakukan penambahan tentara sejumlah 600 dan 70 pemantau militer.

Pada November 2005, Uni Afrika melalui Pemerintah Sudan dan para pemberontak dari JEM dan SLA menandatangani perjanjian perdamaian sementara yang bertujuan untuk menghentikan konflik yang terjadi di Darfur. Perjanjian ini terdiri dari pembentukan zona larangan terbang atas wilayah yang diduduki oleh pemberontak di Darfur, penghentikan pemboman yang dilakukan oleh Pemerintah Sudan atas desa-desa yang ada didaerah pemberontak, dan pemberian jaminan terhadap badan-badan kemanusian internasional untuk mendapatkan akses terhadap korban-korban di Darfur. Perjanjian ini disponsori oleh Uni Afrika dalam perundingan perdamaian di Abuja yang dimulai sejak pada tanggal 25 Oktober 2004.

Untuk mendukung perjanjian perdamaian antara Pemerintah Sudan dan pemberontak, pada tanggal 9 Januari 2005, AMIS dan pihak-pihak yang terkait dalam konflik Sudan secara bersama melakukan bantuan kemanusiaan, perlindungan terhadap sipil, mempromosikan hak asasi manusia. Namun pada 24 Maret 2005, Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No. 1590 yang berisikan situasi di Darfur merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional

Melihat tidak adanya konflik bersar sejak pada Januari dan menurunkan sejumlah penyerangan terhadap desa-desa, pada waktu yang sama, AMIS mengirimkan kembali 3000 tentara yang terhitung pada bulan April mencapai 7000 tentara. Dalam rangka menjaga perdamaian atas komando DK PBB, Nigeria mengirimkan batalionnya sejumlah 680 tentara pada 13 Juli 2005, dan dua batalion dalam kedepannya. Rwanda juga mengirimkan satu batalion, yang diikuti oleh Senegal, Gambia, Kenya, dan Afrika Selatan. Untuk mendukung program perdamaian AMIS, Kanada menyiapkan 105 peralatan lapis baja beserta bantuan pelatihan dan pemeliharaanya.

Pada tanggal 15 September 2005, sejumlah mediator Uni Afrika memulai pembicaraan di Abuja, Nigeria dengan menghadirkan perwakilan dari Pemerintah Sudan dan para pemberontak. Namun, wakil dari SLM menolak untuk hadir dalam pertemuan selanjutnya karena terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh Janjaweed pada 28 September yang menewaskan 32 penduduk sipil, dan Uni Afrika pada 1 Oktober menuduh Pemerintah Sudan dan para pemberontak telah merusak gencatan senjata.

Pada 10 Maret 2006, DK PBB memutuskan untuk memperpanjang misi AMIS di Darfur selama 6 bulan kedepan sampai 30 September 2006 yang tertuang dalam Resolusi PBB No. 1706 dan pada 2 Oktober, Uni Afrika memperpanjang masa AMIS di Darfur yang dikarenakan oleh belum stabilnya situasi di daerah konflik tersebut yang pada perkembangannya dilakukan sampai 31 Desember 2006 dan berlanjut sampai 30 Juni 2007.

Pada Mei 2007, Uni Afrika mendeklarasikan AMIS telah diambang kehancuran karena sering terjadinya serangan dan pembunuhan terhadap tentara-tentara ini dan kurangnya pendanaan yang menyebabkan banyaknya para tentara tidak mendapatkan bayaran selama beberapa bulan. Rwanda dan Senegal mengancam akan menarik pasukannya jika PBB tidak menandai dan membantu program AMIS.

Sampai ke Juli 2007, DK PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi PBB No. 1979 yang menyatakan bahwa masa AMIS sudah selesai di Darfur dan akan digantikan oleh UNMIS pada 31 Desember 2007.[13]

BAB V

KESIMPULAN

Banyak pemberitaan yang menampilkan konflik Darfur yang berkecamuk di Sudan adalah sebagai konflik internal antara etnis Afrika dengan etnis Arab yang kemudian ditarik menjadi Janjaweed yang diduga disponsori oleh Pemerintahan Sudan dengan para pemberontak yang terdiri dari JEM dan SLA. Namun hal itu dikira salah, karena konflik Sudan lebih tepatnya dijelaskan sebagai konflik yang berasal dari tidak meratanya sumber daya alam yang menyebabkan etnis Afrika termajinalisasikan.

Dengan semakin berkecamuknya konflik Darfur yang mendapatkan sorotan luas dari media dan banyaknya tekanan dari masyarakat internasional untuk segera menyelesaiakn konflik ini, DK PBB mengeluarkan Resolusi No. 1564 yang menyatakan bahwa konflik Darfur akan ditangani oleh Uni Afrika. Uni Afrika sebagai wadah dari negara-negara Afrika merasa memiliki hak untuk menjaga perdamaian di kontinen Afrika itu sendiri.

Dengan dikeluarkan resolusi tersebut, Uni Afrika membentuk badan khusus untuk mengurusi konflik Darfur yaitu AMIS. AMIS bertujuan sebagai intervensi kemanusian dengan penjagaan pasukan perdamaian untuk menciptakan situasi aman dan kondusif di Darfur. AMIS resmi diperkenalkan oleh Uni Afrika pada tahun 2004, dan mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2005.

Selain berfungsi sebagai penjaga perdamaian, AMIS pun ikut serta dalam proses perdamaian yang berlangsung diantara pihak-pihak yang terkait dalam konflik Darfur ini. Seperti pada November 2005 yang dimana adanya perjanjian perdamaian sementara antara Pemerintah Sudan dengan para pemberontak JEM dan SLA untuk mengakhiri konflik, dan 15 September 2005 Uni Afrika bertindak sebagai mediator untuk proses perundingan perdamaian antara Pemerintah Sudan dengan para pemberontak. Selain itu juga AMIS melakukan bantuan kemanusiaan, perlindungan terhadap sipil, mempromosikan hak asasi manusia.

Akhirnya lewat Resolusi PBB No. 1979 yang menyatakan bahwa misi AMIS di Darfur sudah selesai dan digantikan oleh UNMIS, menyebabkan berakhirnya peranan Uni Afrika dalam menyelesaikan konflik Darfur di Sudan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal :

Chin, Shally dan Jonatahn Morgenstein. No Power to Protect: The African Union Mission in Sudan. Refugees International, 2005.

Ayoob, Mohammad. The Third World Security Predicament: State Making, Regional Conflict, and The Internasional System. Colorado: Lyenne Rinner Publisher Inc., 1995.

Couloumbis, Theodore A.  dan James H. Wolfe. Introduction to International Relations. New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1982.

Crocker, Chester A. dan Fen Osler Hampson dan Pamela Aall. The Challenges of Managing International Conflict. Washington D.C.,: United State Institute of Peace, 2001.

Ekengard, Arvid. The African Union Mission in SUDAN (AMIS): Experiences and Lessons Learned. Swedish Defence Research Agency, 2008.

Hehir, Aidan. Humanitarian intervention after Kosovo : Iraq, Darfur and the record of

global civil society. London : Palgrave Macmillan, 2008.

Jok, Jok Madut. War and Slavery in Sudan: Ethnography of Political Violence. Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 2001.

Jones, Walter S. Logika Hubungan Internasional. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Leifer, Michael. Regionalism in Southeast Asia. CSIS, 1975.

Mamdani, Mahmood. Saviours and Survivors: Darfur, Politics, and the War on Terror. Cape Town : HSRC Press, 2009.

Mos’eod, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin, dan Metodologi. Jakarta : LP3ES, 1990.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998.

Reeves, Eric. Getting Darfur Wrong. ProQuest Sociology, 2009

Wallenstein, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global System. London: SAGE Publisher Ltd., 2002.

Weigall, David. International Relations. London: Arnold Publisher, 2002.

Website :

www.amnestyusa.org

http://www.wikipedia.org


[1] Arvid Ekengard, The African Union Mission in SUDAN (AMIS): Experiences and Lessons Learned, dalam Swedish Defence Research Agency, Agustus 2008, hal. 11-13.

[2] Mochtar Mos’eod, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin, dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 7.

[3] Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 63.

[4] Peter Wallenstein, Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global System, (London: SAGE Publisher Ltd., 2002), hal. 16.

[5] Michael E. Brown, “Ethnic and Internal Conflict: Causes  and Implication”, dalam Chester A. Crocker, Fen Osler Hampson and Pamela Aall, The Challenges of Managing International Conflict, (Washington D.C.,: United State Institute of Peace, 2001), hal. 212.

[6] Peter Wallenstein, Op. Cit., hal. 54-57

[7] Mohammad Ayoob, The Third World Security Predicament: State Making, Regional Conflict, and The Internasional System, (Colorado: Lyenne Rinner Publisher Inc., 1995), hal. 53.

[8] David Weigall, International Relations, (London: Arnold Publisher, 2002), hal. 191.

[9] Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1982), hal.295-296.

[10] Michael Leifer, Regionalism in Southeast Asia, (CSIS: 1975), hal. 55

[11] Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 442-445.

[12] “African Union”, http://en.wikipedia.org/wiki/African_Union, diakses 2 April 2010,

[13] “Darfur History”, http://www.amnestyusa.org/annualreport.php?id=ar&yr=2009&c=SDN, diakses tanggal 2 April 2010.